Jumat, 04 Juli 2008

Meski cuma sepotong plastik, kartu kredit bisa membuat hidup lebih nyaman, asal dikelola secara betul. Kalau tidak, kenyamanan itu bisa berbalik

Meski cuma sepotong plastik, kartu kredit bisa membuat hidup lebih nyaman, asal dikelola secara betul. Kalau tidak, kenyamanan itu bisa berbalik jadi beban karena harus menanggung berbagai biaya yang tak perlu. Tulisan berikut menawarkan sikap dan perilaku arif yang idealnya dilakukan pemegang kartu kredit.

Kartu kredit sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sebagian orang yang hidup di perkotaan. Jangan heran kalau melirik isi dompet mereka, tersembul bahkan tak hanya satu tapi sederet kartu kredit. Semakin banyak, semakin bangga. "Itu artinya, kita dipercaya bank," begitu kilah mereka kalau ditanya alasan memiliki sederet kartu. Padahal, kartu plastik itu tak lebih dari alat untuk menggampangkan orang mengutang atau mengkredit dalam jumlah maksimal yang ditentukan.

Memang sampai akhir 1996 Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) mencatat, di Indonesia baru beredar 1,8 juta lembar kartu kredit (kalau digelar, panjang deretan kartu ini bisa mencapai 153 km, kira-kira sama dengan jarak Jakarta - Bandung). Namun nilai transaksinya mencapai Rp 7,3 triliun dari sekitar 110 juta transaksi!

"Uang plastik" itu ada empat jenisnya, tiga produk luar negeri, yakni Visa, Master Cards, dan Amex, serta satu produk dalam negeri, yaitu BCA Cards. Penerbitnya pun sudah mencapai 21 perusahaan, sebagian besar lembaga perbankan.

Pertumbuhan jumlah pemegang kartu kredit tadi memang tak terlepas dari kemudahan dan iming-iming menggiurkan yang ditawarkan penerbit, serta semakin banyaknya merchant (pedagang barang dan jasa) yang mau menerima pembayaran dengan kartu kredit. Di samping kepraktisan yang melekat; pemegang kartu tak perlu menjejali dompetnya dengan uang kontan. Dompet cukup diisi uang "pecahan" secukupnya untuk keperluan yang tidak bisa dibayar dengan kartu kredit.



Tidak ada komentar:

Custom Search